Denpasar.Balijani.id — Di usianya yang sudah uzur, I Made Sutrisna (76) semestinya menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan bahagia bersama cucu-cucunya. Apa daya justru hal berbeda ia rasakan saat ini karena dijadikan tersangka oleh Penyidik Reskrim Polresta Denpasar terkait sengketa kepemilikan lahan seluas 32 are di Perempatan Jalan Cokroaminoto Ubung, Denpasar.
Meski berupaya melakukan gugatan praperadilan dan berharap kasus dihadapi adalah ranah perdata namun tetap ditolak hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Di sini ia merasa dizalimi negara.
Pihaknya tetap memohon pengayoman hukum dan mengaku akan terus mencari keadilan. Bahkan ia berharap, Panitia Kerja (Panja) Mafia Tanah DPR RI yang dibentuk presiden Jokowi diminta bisa turun membantu.
“Kami merasa dizalimi dan negara menzalimi saya. Kepada Panitia Kerja (Panja) Mafia Tanah DPR RI yang dibentuk presiden Jokowi tolong kami dan bantu kami,” harap Made Sutrisna di Denpasar, Kamis (27/01/2022)
Sutrisna menjelaskan, bagaimana pihaknya sebagai pemegang sertifikat hak milik (SHM) No.3395 diterbitkan negara tahun 1998 yang dibeli dari Jhony Loepato malah dizolimi negara. Tanahnya dikatakan diambil, sementara dirinya berusaha dipidana lewat penegak hukum negara.
“Dasar hak dokumen kami pegang dibuat dan dikeluarkan negara sebelumnya seolah itu disebutkan palsu (tidak relevan-red) oleh pihak sebelah. Digugat lewat pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) secara sepihak. Hanya yang keberatan dan BPN saja dilibatkan dalam gugatan. Pada tingkat satu dan banding gugatan itu ditolak. Namun di tingkat kasasi malah dikabulkan,” terangnya.
Lucunya kata Sutrisna, Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) juga sama diungkap tidak menyertakan ia sebagai pihak dirugikan.
“Tiba-tiba diterbitkan sertifikat baru
SHM No.05949 tahun 2017 lalu diturunkan haknya menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) No.102 tahun 2018. Tanah kami itu katanya sekarang menjadi milik perusahaan dan saya dilaporkan ke Polresta Denpasar dalam kasus pidana,” singgungnya.
Sementara dihubungi wartawan secara terpisah, Dr. Ketut Westra, S.H, M.H Ahli Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana mengatakan, dalam suatu gugatan TUN permohonan menunda atau membatalkan sertifikat sudah terbit harus menyertakan pemilik atau siapa yang tertera di dalam sertifikat. Itulah namanya para pihak dalam perkara. Ada pihak pemohon ada pihak yang dibatalkan sertifikatnya.
“Kalau hanya menyatakan bahwa BPN pihaknya, sertifikat yang mana yang dibatalkan, itu kan harus jelas. Atas nama ini, hak milik ini, tempatnya di sini, luasnya sekian.
Jadi kalau seperti itu, berarti gugatannya cacat, harus ditolak. Atau harus dilengkapi karena tidak jelas, atau obscuur libel. Jika ada gugatan seperti itu disebut gugatan yang kabur,” tegas Ketut Westra.
Sebagai ahli hukum perdata pihaknya menyampaikan adanya penolakan gugatan TUN pada tingkat pertama dan banding tanpa menyertakan pihak dirugikan adalah benar dalam penerapan hukum. Namun ketika dikabulkan pada tingkat kasasi MA keadaan tersebut perlu dipertanyakan.
“Nah ini, seharusnya kan, bahwa itu tidak jelas, obscuur libel namanya. Seharusnya di Mahkamah Agung ditolak juga, karena di tingkat pertama dan banding sudah ditolak juga. Berarti PN dan PT sudah benar penerapan hukumnya. Nah, ini ada apa kok di Mahkamah Agung bisa diterima, bisa dikabulkan permohonan gugatannya,” sindirnya.
Ketut Westra menambahkan, terhadap objek tanah yang masih dalam sengketa tidak boleh dilakukan perbuatan hukum apapun, termasuk penerbitan sertifikat atas objek yang bersangkutan. Karena objek tersebut masih dalam sengketa atau proses hukum. Apalagi jika tidak ada putusan pengadilan umum yang memerintahkan BPN menerbitkan sertifikat.
“Jadi BPN yang menerbitkan sertifikat atas objek yang masih dalam proses perkara adalah cacat secara objek sehingga dapat dibatalkan. Itu BPN dapat digugat,” pungkas Westra.